Ia Lahir - Melahirkan dengan Tali Pusar Melilit

Setelah mengandungnya selama 42 minggu, mundur 12 hari dari tanggal perkiraan lahir, akhirnya ia lahir setelah proses induksi di RS. Caltex Rumbai, Pekanbaru. Dokter yang memeriksa saya selama kehamilan ada 2 orang: Dr. Adi & Dr. Atjang, dokter-dokter OBGYN yang bertugas di RS Caltex Rumbai. Yang menolong persalinan saya adalah 2 orang bidan senior yang sigap lagi cekatan. Sehingga – alhamdulillah – Affiq tertolong dengan selamat kelahirannya secara normal meski lehernya sempat terlilit tali pusar sebanyak 3 kali dan tekanan darah saya sempat tinggi sebelum melahirkan.

Rumbai 27 Agustus 2001

11.30 WIB
Hari ini si kecil anteng. Semalam dia bangun pkl 02 lalu pk 03.30 kemudian subuh bangun pkl 06.30 kurang. Setelah diganti popoknya dan disusui (sekitar pk 07.30) matanya terbuka lebar. Biasanya saya “curi-curi” mandi pagi hari, saat bapaknya belum ke kantor tapi kali ini dia masih menyusu. Karena kelihatannya moodnya sedang bagus, saya meletakkannya di box, dia mengoceh sendiri, lalu saya memberi “instruksi” kepada Upik (“asisten urusan rumah tangga“ saya), saya pun mandi. 

Melahirkan dengan Tali Pusar Melilit - Sampai selesai mandi dia masih asyik ngoceh. Ganti popok lagi, lalu ke teras. Ternyata hari mendung jadi dia diletakkan saja di kereta dorongnya di depan TV lalu saya sarapan, membiarkan dia mengoceh sambil sesekali meladeni ocehannya. Bosan ngoceh (ada sekitar sejam) dan karena lapar dia pun menunjukkan “gaya bebas”-nya (tangan dan kaki digerak-gerakkan sambil mengerang-erang kecil) … wah … harus segera disusui supaya ndak rewel. Setelah itu tiba saatnya untuk dia mandi. 

Alhamdulillah kalo dimandikan dia ndak rewel, kalaupun sempat rewel sebelum diceburkan ke air, begitu badannya masuk ke dalam air mandinya dia langsung diam, dia kelihatannya begitu menyukai kegiatan yang satu ini. Mungkin karena sejak baru lahir dia dimandikan (dari kepala sampai kaki), dalam ruangan ber-AC lagi. Oh ya, sejak umurnya 2 hari saya sendiri yang memandikannya. Di camp Caltex, ibu-ibu diajar mandiri dalam mengurus bayinya. Setelah melahirkan, bayinya langsung ditempatkan seruangan dengan ibunya (rooming in), dan ibunya sendiri yang mengurusinya. Sampai sesiang ini ada 3 kali saya meletakkannya, membiarkan dia mengoceh sendiri.


Melahirkan dengan Tali Pusar Melilit

Kelahiran si kecil mundur 12 hari dari perkiraan dokter (27 Juni 2001). Kata dokter, proses induksi bisa memakan waktu 2 hari, makanya saya ‘ditetapkan’ menjalani induksi pada 9 Juli 2001 jika sampai tanggal 8 Juli dia belum mau nongol juga.

Kalau pada 3 bulan pertama pemeriksaan kehamilan 2 kali sebulan, pada 4 bulan sampai 32 minggu- sekali sebulan, pada 32 – 36 minggu- 2 kali sebulan, dan 36 – 40 minggu seminggu sekali, maka setelah 40 minggu (saat perkiraan kelahiran) pemeriksaan kehamilan menjadi 2 kali seminggu. Di RS Caltex malah disertai ‘observasi’, pemantauan detak jantung janin dan kontraksi di ruang bersalin (alatnya adanya di situ). Alhamdulillah selama beberapa kali observasi detak jantung si kecil masih bagus.

Sejak 40 minggu, rasa-rasanya sudah ada pembukaan, hanya saja saya belum pernah mengalami kontraksi yang teratur. Kadang-kadang ada kontraksi hanya saja waktunya belum teratur. Kadang kala ada perasaan kuat ingin buang air besar sepanjang pagi sampai siang, begitu masuk WC tidak ada yang keluar. Tapi setelah itu perasaan ingin buang air besar itu hilang. Tekanan si kecil pada jalan lahirnya juga terasa amat kuat.

Malam hari sebelum “the induction day” tiba, saya sulit tidur karena batuk yang sangat mengganggu. Beberapa minggu sebelum hari itu saya tiba-tiba batuk, tenggorokan rasanya gatal sekali, dan ini berlangsung sampai kira-kira seminggu setelah melahirkan. Bukan hanya itu, kaki saya gatal-gatal berat, mungkin karena makan ikan tenggiri saat musim hujan (konon ikan laut bisa menyebabkan gatal-gatal saat musim hujan) atau karena sebab lain yang saya tidak tahu (kira-kira sebulan sebelum melahirkan saya pingin makan ikan, di commissary ada dijual ikan tenggiri makanya saya beli. Saya pernah makan ikan ini beberapa bulan sebelumnya tapi waktu itu aman-aman saja, tidak ada reaksi alergi). Tegang juga menanti hari induksi itu.

17.10 WIB

Tanggal 9 Juli 2001 di RS. Caltex Rumbai, Pekanbaru. Setelah menyelesaikan urusan administrasi dengan suster Endang (mengisi data diri, riwayat penyakit sampai alergi makanan), mula-mula diobservasi lagi detak jantung si kecil dan kontraksi saya. Tekanan darah saya diperiksa. Tak disangka-sangka tekanan darah saya 160 ! Memang hari itu saya merasa pusing, saya pikir karena kurang tidur malam sebelumnya (ya karena batuk-batuk itu).

Rumbai, 28 Agustus 2001

Mengetiknya terpaksa dicicil-cicil, menunggu saat Aco tidur atau lagi anteng.

Lanjut ya ….

Pagi itu, oleh bidan Kus – orang Jawa, saya diperiksa dalam. Baru pembukaan satu katanya, tapi kepalanya sudah di bawah sekali (rasanya sih hal ini sudah berlangsung lebih dari seminggu), tidak lama lagi. Syukurlah … Lalu timbang berat badan (berat badan akhir saya 64 kg, naik 18 kg dari berat sebelum hamil !) dan ukur tinggi badan.

Saya ditempatkan di kamar 152, paling ujung, dekat bagian anak. Kamar itu untuk 2 orang tapi saat itu hanya saya sendirian di kamar itu. Asyik juga, kamar tidur dan kamar mandinya serasa milik sendiri. Tiap ranjang dalam kamar di bagian OBGYN ini disekat tirai tersendiri. Masing-masing pasien berhak nonton TV sendiri dan dapat lemari sendiri. Beruntung saya dapat kamar ini, kalo kamar yang disebelah (154, 156, dan 158 untuk 3 orang), kamar mandinya terpisah dengan WC-nya. Kalo terpisah seperti itu koq ya rasanya sulit untuk orang yang baru melahirkan. Saat baru melahirkan kan tenaga terkuras habis dan kemampuan fisik langsung menurun, jangankan untuk berpindah ruangan, untuk melangkah saja … duh … rasanya susah.

Pukul setengah sepuluh pagi itu, saya diberi tablet induksi setengah pil. Kata teman efeknya cepat, bisa setengah jam (ternyata yang berefek secepat itu kalau ketubannya sudah pecah duluan, saya kan belum), menurut dokter Adi ya itu … bisa 2 hari proses induksi sampai melahirkan (Alhamdulillah saya tidak selama itu). Tunggu punya tunggu, perasaan mulas ndak muncul-muncul, kak Solihin dan para ibu (ibu & mertua saya) serta kak Leha (ipar saya) pun pulang ke rumah, saya makan siang dan menyempatkan untuk tidur supaya kalau hari itu juga melahirkan masih punya tenaga.

Bangun pukul 13.30 siang, shalat Dhuhur dengan pakaian yang melekat di badan. Pakaian untuk dipakai di rumah sakit tidak terbawa. Jenuh di kamar saya jalan-jalan ke dekat meja resepsionis. Oleh bidan Lanny (konon – kata ibu-ibu di sini, dia bidan tergalak di Rumbai) saya disuruh mandi (ternyata di rumah sakit ini, waktu mandi sorenya kecepatan, pkl. 13.30 siang karena waktu besuk pasien pkl. 15.30 – 16.30 sementara waktu mandi paginya pkl. 05.30) lalu setelah itu mau diobservasi lagi. Sekitar pukul 14 menelepon kak Solihin, minta dibawakan tas-tas yang sudah saya siapkan. Lalu kembali ke kamar. Baru masuk kamar, pkl. 14.15 tiba-tiba byurr … koq rasanya saya pipis tanpa terasa ya … ada “air” yang mengalir terus, tidak bisa saya tahan. Untung dekat kamar saya ada bidan Kus. Bidan Kus langsung menyuruh saya segera mandi seadanya.

Setelah mandi asal-asalan (tanpa sabun, oh ya kalau handuk, pakaian selama di rumah sakit disediakan oleh pihak rumah sakit, semua pasien seragam, saya hanya mempersiapkan yang tidak tersedia di sana seperti jilbab), saya segera ke “labor room” untuk diobservasi lagi. Air ketuban saya mengalir terus.

Entah, ketuban saya memang sudah waktunya pecah (dengan atau tanpa minum pil, soalnya pak Haji – tabib pengobatan “alternatif” saya di Makassar sudah “mengisyaratkan” bahwa ketuban saya akan pecah duluan) atau karena pengaruh pil induksi itu. Kontraksi teratur baru saya rasakan sekitar pukul setengah tiga.

Alhamdulillah tekanan darah saya turun. Kalau tetap 160 wah … bisa-bisa saya harus operasi karena tekanan darah tinggi kan riskan sekali. Istilahnya “Eklampsia” (jika tekanan darah meninggi saat akan melahirkan), ngerinya eklampsia ini termasuk salah satu penyebab utama kematian ibu hamil dan bayi di Indonesia. Salah satu gejalanya, ya tekanan darah tiba-tiba meninggi dan ada protein di air seni (istilah medisnya proteinuria). Akibatnya pada janin dalam kandungan, suplai makanan dan oksigen berkurang.

Tanpa setahu saya, ternyata kak Solihin sudah mengantarkan tas-tas yang saya minta. Entah apa suster di meja resepsionis tidak tahu, atau karena dipikirnya proses kelahiran anak pertama biasanya lama (di atas 10 jam), mereka hanya mengatakan bahwa saya sedang diobservasi – tidak diberitahu bahwa ketuban saya sudah pecah. Jadi kak Solihin pulang ke rumah. Untungnya, karena tidak tenang menunggu di rumah, kak Solihin kembalil lagi ke rumah sakit dan bisa menunggui saya melalui tahapan-tahapan pembukaan yang “ngebut” (gile … cepat sekali) sampai proses persalinan. Mungkin itu yang namanya ikatan batin kali ya ...

Saat diperiksa dalam lagi oleh bisan Kus, pembukaan mulut rahim saya masih di pembukaan 1. Lalu saya diberi seperempat pil induksi lagi. Nah setelah itu … tahapan pembukaan mulut rahim saya ngebut gila-gilaan … yang cukup bikin senewen, di saat-saat menegangkan seperti itu, setiap ada suster shift baru yang melongok dan bertanya ”Anak ke berapa ?” pada bidan pendamping saya (bidan Kus lalu setelah ganti shift diserahkan pada bidan Ola), dan dijawab “Anak pertama’ mereka lalu bilang “Oooo … masih lama”.

Pemeriksaan dalam berikutnya oleh bidan Ola, pembukaan sudah maju, sekitar 3-4 katanya. Untung bidan Ola ini baik, ramah, sabar, dan santai. Selama melalui tahapan pembukaan dan persalinan saya diizinkan minum. Kalo dapat bidan judes wah …

Ada teman saya yang mau melahirkan, karena sudah waktunya ganti shift bidan yang menanganinya ndak sabar, disela-sela kesakitannya bidan itu malah sibuk dengan dirinya sendiri “Cepat, saya sudah mau pulang, sudah waktunya ganti shift …”. Kurang ajar kan, mana bisa orang mo melahirkan disuruh cepat-cepat. Wong Allah belum mengizinkan jabang bayinya keluar ?

Saya sudah tidak tahu berapa lama waktu kontraksi dan berapa lama jarak antaranya. Yang saya tahu kontraksi semakin cepat /lebih sakit dan lebih cepat lagi /lebih sakit lagi, dan cepat sekali/ sakit sekali. Bukannya mo nakut-nakutin yang belum melahirkan … tapi memang seperti itu, dan benar yang dibilang orang tidak ada sakit yang lebih di atas itu. Alhamdulillah ada kak Solihin yang mendampingi saya melalui saat-saat itu. Kehadirannya sangat membantu saya.

Makin lama (mulai pembukaan 5), keinginan ngejan makin susah ditahan (karena kontraksi yang makin cepat, makin lama, dan makin sakit itu) padahal yang namanya “mengejan” tidak boleh asal mengejan, waktunya harus pas. Dan bidan akan menginstruksikannya jika saatnya tiba. Kalau salah ngejan akibatnya: kehabisan tenaga saat waktu untuk (seharusnya) mengejan tiba, jalan lahir bengkak, dan kepala bayi panjang (si Aco ini kan kepalanya agak panjang, Alhamdulillah pulih sendiri). Tangan saya yang satu “meremas” tepi tempat tidur sementara yang lain memegang – menggenggam dengan keras tepatnya - tangan kak Solihin (malah katanya saya hampir mematahkan lehernya ... he ... he ...).

Pukul 18.30, rasanya keinginan mengejan tidak tertahankan lagi. Bidan Ola masih dengan santainya mengucap kata “Sabar, tarik napas …”. Untungnya saat saya minta diperiksa dalam lagi dia ndak keberatan. Begitu jarinya masuk … ternyata sudah pembukaan lengkap (pembukaan 10, berarti mulut rahim sudah membuka sekitar 10 cm). Saya lalu dibawa ke ruang sebelahnya untuk menjalani proses persalinan. Di sini ada lagi satu orang bidan pendamping persalinan.

Para bidan mempersiapkan perlengkapan persalinan kemudian bidan Ola menuntun saya. Saat sakit kontraksi pada puncaknya, saya harus mengejan. Setelah beberapa kali mengejan, kepala bayi yang sudah mulai kelihatan, masuk lagi. Rupanya cara saya menarik dan mengeluarkan napas saat ngejan belum tepat. Tapi kejadian ini berulang beberapa kali, kepala bayi yang sudah mau keluar, masuk kembali.

Rumbai, 2 September 2001

14.01 WIB

Alhamdulillah, Allah memberiku bayi yang tidak rewel. Alasan dia menangis standar saja, lapar, pipis, atau pup, kadang-kadang karena sakit (misalnya karena sembelit, hidung mampet). Sayangnya dia sering sekali memuntahkan sedikit/sebagian susu yang sudah diminumnya bahkan setelah disendawakan sekali pun.

Semalam setelah selesai shalat Isya (menjelang pukul 8 malam), saya tadarus di dekatnya, melanjutkan bacaan yang tertunda sewaktu nifas. Begitu tenangnya dia mendengarkan dengan mata terpejam-pejam sampai habis 4 lembar bacaan. Aco tidak bisa tidur juga tapi dia tidak menangis hanya gelisah, kasihan mungkin karena lapar dan basah (terakhir dia mimik sekitar pukul 18.40 lalu saya tinggalkan di boksnya untuk makan). Subhanallah, ini karena diperdengarkan ayat-ayat suci ya.

Kembali ke tanggal 9 Juli

Saya sampai disuruh mencoba ngejan dengan gaya lain: miring ke kanan. Di saat itu mama masuk karena stress menunggu di luar, seorang bapak – employee juga, kenalan kak Solihin di Minas merasa kasihan dan membujuk bidan supaya mama bisa masuk, sekedar mendo’akan saya dari dekat. 

Ternyata mama malah tambah stress (dan bapak itu makin menyesal), karena mama masuk di saat saya sedang di puncak kontraksi dan sedang sibuk mengejan (mana sempat lagi tersenyum ?), jadi saat itu saya hanya membuka mata sedikit (saat ngejan, saya menutup mata), lalu kembali menutup mata, “konsentrasi” dengan kontraksi yang tengah menguat. Bukan hanya itu, mama juga melihat saya dipasang alat bantu pernapasan (zat asam) sehingga dikiranya saya ‘kenapa-kenapa’ (maka bidan pun “diinterogasi”). 

Seperti itulah di RS Caltex ini, untuk membantu supaya bayinya tidak kekurangan oksigen maka ibunya diberi bantuan pernapasan. Apalagi sebelumnya saya beberapa kali secara spontan menahan nafas (karena ingin menahan “keinginan mengejan” yang sedemikian kuatnya, takut salah ngejan karena belum diinstruksikan bidan). Kekurangan oksigen tentu saja berakibat fatal bagi bayi, selain asupan makanan dan oksigen terhambat, bayi yang akan dilahirkan juga bisa cacat mental ! Ternyata jabang bayi saya terlilit tali pusar 3 lilitan. 

Saya pun diinstruksikan bidan untuk tidak mengejan dulu pada beberapa kali puncak kontraksi berikutnya supaya bayi memutar sendiri agar lilitannya merenggang sehingga kepalanya bisa keluar. Duh susahnya, di saat otot perut rasanya secara otomatis menegang sendiri, ingin mengeluarkan manusia mungil di dalamnya saya harus menarik nafas panjang. Setelah itu baru saya boleh mengejan lagi.

Disela-sela ‘perjuangan’ inilah saya mendengar sayup-sayup siulan yang sudah mengganggu sejak belum menikah, lalu ikut ke Minas dan Rumbai.

Setelah beberapa kali ngejan, alhamdulillah … keluarlah kepala mungil itu. Dan benar saja, ada 2 lilitan tali pusar tersisa di lehernya, dengan sigapnya bidan langsung memotong tali pusarnya, melakukan episiotomi (menggunting daerah perineum saya) dan menarik si jabang bayi keluar. 

Semua itu bisa saya rasakan, saat kepala mungilnya keluar, digunting, bahunya keluar, lalu badannya meluncur dari jalan lahirnya. Kasihan, si kecil harus tersedak dulu karena terminum air ketuban baru kemudian terdengar suara tangisnya. Dia lahir pukul 19.45. Alhamdulillah, proses persalinan saya berlangsung cepat (dari pukul 14.15 saat air ketuban merembes sampai pukul 19.45), tidak perlu sampai 10 jam atau lebih (yang merupakan waktu “normal”). 

Berikutnya giliran plasenta keluar dari rahim saya, yang ini terasa juga keluarnya, ada kontraksi lagi tapi tidak sehebat sebelumnya.

Berikutnya acara jahit-menjahit, sementara itu cairan ketuban yang terminum si kecil harus disedot dan dia juga harus dibersihkan dan ditimbang serta diukur panjangnya (entah, apa bidan melakukan semua tes APGAR – tes untuk melihat kemampuan fisik/respons bayi baru lahir, di antaranya mengukur berat badan dan panjangnya, melihat reaksi refleksnya, mencatat denyut nafas dan warna kulitnya, dll – yang biasanya dinyatakan dalam skor, kalau ndak salah skor maksimal 4). Beratnya 3,35 kg, panjangnya 49 cm.

Kak Solihin meminta izin untuk memotret bayinya sebelum dibersihkan, dan diizinkan oleh bidan Ola (kelihatannya bidan yang satunya agak keberatan, kayaknya sih dia percaya mitos bahwa bayi yang baru lahir dan belum dibersihkan tidak boleh dipotret). Aco pun punya kenang-kenangan saat-saat pertamanya di bumi ini sebelum dimandikan, juga foto “saudaranya”.

Wah ternyata dijahit di jalan lahir itu sakit. Sebelum dijahit saya disuntik entah apa itu suntikan bius atau apa, tapi yang jelas saat dijahit rasanya sakit (tiap orang berbeda-beda juga sih, ada yang bilang tidak sakit). Bedanya RS Caltex dengan rumah sakit/bersalin lain, di RS Caltex semua yang melahirkan dikenakan tindakan episiotomi dan dijahit dengan benang yang akan menyatu dengan kulit, jadi bukan karena robek atau kenapa-kenapa. Jumlah jahitannya, wah … jangan ditanya, rasanya ada di atas 10, malah mungkin 20-an. Tapi sakitnya dijahit kalah banyak dengan rasa sakit yang baru saja berlalu. Di atas itu semua, tidak ada artinya segala rasa sakit dengan menyaksikan dan “merasakan” kehadiran si kecil yang sudah dinanti-nanti selama 2 tahun …

Dia kami namakan sesuai “kesepakatan”: Muhammad Affiq Khalid Ghiffari Solihin alias Aco. Muhammad, sudah jelas nama siapa : nabi besar ummat Islam. Affiq artinya full of knowledge and kind (diambil dari internet), Khalid: tentu saja “meminjam” nama Khalid bin Walid – sahabat nabi yang bergelar Saifullah (pedang Allah) yang terkenal pemberani di medan perang itu, dan Ghiffari: dari nama suku sahabat nabi Abu Dzar Al-Ghiffari, yang terkenal dengan keberaniannya menyampaikan kebenaran walaupun beliau seorang diri berjuang sedangkan suku Ghiffar adalah suku pencinta kebenaran. Kak Solihin ngefans sama sahabat nabi yang satu ini. Dan Solihin: sudah jelas nama siapa itu. Dan harapan saya, dia jadi orang yang saleh … Kebayang kan, apa do’a kami untuknya ?

16.01 WIB

Memang benar kata orang-orang, wajah bayi berubah-ubah. Aco lahir dengan pipi tembem, mungkin karena ibunya doyan makan menjelang kelahirannya, mata yang kelihatannya sipit – sekarang sih tidak - matanya belo, alis yang sedikit – sekarang kelihatan bakal lebat (saya masih berpikir apa akan seperti bapaknya atau kakeknya). Hidungnya waktu itu kelihatan pesek, tapi sekarang sudah mulai “tumbuh”. 

Kulitnya putih, bersih – sekarang tidak seputih waktu baru lahir. Mulutnya kelihatan mungil, dagunya seperti dagu saya (ehm … merasanya …). Waktu baru lahir rambut di sekitar ubun-ubunnya habis (mungkin karena lama keluar-masuk di jalan lahir kali …), sekarang sudah tumbuh. Telinganya mirip telinga tante Mirnanya, menempel rapat di kepala – yang ini belum berubah sampai sekarang. Satu lagi, waktu baru lahir sampai sekitar 1- 2 minggu setelahnya, matanya rapat saat tidur, setelah itu tidak lagi, matanya setengah tertutup saat tidurnya nyenyak. Yang kasihan, sejak lahir mata kirinya terus-menerus mengeluarkan kotoran, kata dokter karena ada penyumbatan saluran air matanya. Alhamdulillah masalah ini selesai saat usianya 40 hari.

16.58 WIB

Kasihan, sepagi sampai sesiang hari ini dia mudah kaget dalam tidurnya.

Senang melihat dia sudah bisa tertawa pada kami. Sejak nenek-nenek dan tantenya pulang, tanggal 9 Agustus yl, dia sudah mulai tertawa, tapi penglihatannya belum sejelas sekarang. Menurut literatur sih pandangannya belum jelas-jelas amat, tapi dibanding waktu baru lahir, sekarang sudah mengalami peningkatan. Dia bisa melihat jelas sampai pada jarak 20 cm dari wajahnya, itu pun dengan terfokus pada potongan-potongan wajah yang di depannya, belum merupakan satu kesatuan wajah. Yang paling sering dia ketawa saat diganti popoknya. Mungkin dia tahu tubuhnya akan berubah menjadi nyaman, dari basah menjadi kering, dan setelah itu : mimik …

Oh ya, dia juga sudah bisa ngoceh sendiri. Dan kalau diajak bicara dia seperti menanggapi apa yang kita bilang. Dengan tatapannya yang seolah sedang menyimak dan suara-suara yang dikeluarkannya serta kepalanya yang diangguk-anggukkannya, dan juga alis mata yang dinaik-turunkannya. Lucu deh pokoknya …
Kembali ke tanggal 9 Juli …

Hari itu sampai beberapa hari setelahnya, “seluruh dunia” dikabari.
Wah … dia bangun tuh … nanti lagi dilanjutkan.

Catatan:

Aco : panggilan kesayangan untuk Affiq saat ia baru lahir. Tetapi panggilan itu hanya bertahan sebentar. Ia kemudian disapa dengan panggilan “AFFIQ” hingga sekarang. Saya senang menyambung sapaan namanya dengan “Permata hati, kekasih hati, buah hati seorang” ...


Oya, karena sesuatu hal, saya dan suami sepakat ‘memenggal’ namanya hingga menjadi Muhammad Affiq Solihin saja.

Ini cerita tentang proses kelahirannya yang waktu itu saya ketik mulai tanggal 27 Agustus 2001, saat usianya sudah 1,5 bulan.

Update


Share :

0 Response to "Ia Lahir - Melahirkan dengan Tali Pusar Melilit"

Post a Comment

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^