Solitaire dan Sendiri

Wisma Ukai 2, Minas, Riau,
tempat tinggal saat baru nikah
Dua minggu setelah menikah, saya langsung ikut suami ke tempatnya bekerja (waktu itu di PT. Caltex Pacific Indonesia – sekarang namanya PT. Chevron Texaco, di kota Minas – Riau). Saya excited menyambut kehidupan baru di tempat baru. Inilah untuk pertama kalinya saya hidup jauh dari orangtua. Paling lama saya berpisah dari orangtua saat KKN (Kuliah Kerja Nyata), selama dua bulan. Satu bulan sih sebenarnya karena saya sempat satu kali pulang waktu sudah sebulan di lokasi.

Sebelumnya saya mempersiapkan diri dengan membaca buku-buku pernikahan dan membeli buku-buku masak. Segala macam  jenis masakan berusaha saya beli bukunya, mulai dari masakan ayam, ikan, tahu-tempe,  sayur-sayuran dan kue-kue. Mengapa saya begitu serius memperlengkapi diri dengan buku-buku masak? Karena saat gadis saya tak terbiasa memasak. Saya hanya tahu masak nasi, air, nasi goreng, dan beberapa jenis kue (basah dan kering). Selain itu: no experience at all – tidak ada pengalaman sama sekali.

Kompleks Apel, Minas.
Kami tinggal di sini sebelum pindah ke Rumbai
Tetapi sejak akhir masa kuliah saya serius belajar masak, di antaranya dengan nonton berbagai acara masak di stasiun TV. Waktu itu, semua stasiun TV saya pantengin he he he. Maka, hari-hari saya sejak menginjakkan kaki di Riau diwarnai dengan praktek masak (sekelumit kisahnya pernah saya tulis, jika berminat anda bisa membacanya di sini). Segala jenis masakan saya sikat. Hasilnya .... ? Cukup mengagumkan. Beberapa bulan nikah, ada perubahan yang signifikan pada diri suami saya. Ada pertambahan yang menakjubkan pada dimensi badannya. Ia menjadi lebih lebar dan lebih tebal (sayang, tidak menjadi lebih tinggi J).

Masa-masa awal nikah benar-benar berasa sendirinya. Di kampung orang, di tengah masyarakat multi etnis. Sehari-harinya hanya berhadapan dengan dinding-dinding kamar yang membisu. Area perumahan pegawai dan area perkantoran di kota ini terletak di tengah hutan. Suami saya pergi pagi, pulang sore. Setelah itu ia sibuk dengan komputer, televisi, dan buku-bukunya – persis sama dengan kegiatan yang dijalaninya sebelum nikah. Saat itu ada konflik (kisahnya bisa dibaca di tulisan: Ketika Venus dan Mars Menikah | Welcome Trouble) antara saya dengan dirinya, butuh waktu beberapa lama untuk menyelesaikannya ketika itu.

Untungnya saya punya segelintir teman yang sevisi. Kami membentuk pengajian kecil-kecilan. Dari kami untuk kami. Setiap pekan kami bergiliran membawakan materi. Oya, sesekali saya bertemu dengan satwa yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Seperti: biawak, kawanan kera, ular, kalajengking, burung enggang, dan babi hutan.

Instalasi pengolahan air terproduksi & stasiun
pengumpul minyak mentah, ladang minyak Kotabatak.
Rumbai SBU, Riau.
Sumber: Warta Caltex No. 51/1998
Masalah kesuburan (masalah ketidaksuburan, lebih tepatnya) saya dan suami membuat waktu bulan madu kami cukup panjang. Setelah menyetop sama sekali terapi kesuburan secara medis untuk kemudian fokus pada sebuah metode pengobatan alternatif yang sudah saya jalani sejak sebelum nikah, alhamdulillah saya hamil saat usia pernikahan setahun lebih.

Saya benar-benar mempersiapkan ini dengan banyak membaca buku, majalah, tabloid, dan browsing di internet mengenai kehamilan, persalinan, dan mengasuh serta mendidik anak. Kami juga suka mengamati sekitar kami, kepada para pasangan muda yang baru memiliki anak. Tak pernah sekali pun saya bertanya mengenai hal-hal tersebut kepada ibu ataupun ibu mertua karena kekeraskepalaan saya. Bukan karena menilai beliau berdua tidak bagus dalam mengasuh saya dan suami. Bukan. Tetapi karena saya bersama suami lebih suka mencari tahu sendiri. Hasil dari mencari tahu itu, kami akhirnya secara perlahan punya pakem sendiri mengenai pengasuhan dan pendidikan anak.

Di samping itu, para orangtua seringkali masih terikat dengan mitos dan takhayul. Misalnya saja ibu saya pernah mengatakan, “Orang yang hamil muda tidak boleh berhubungan suami istri selama tiga bulan.” Kalau tak punya bekal ilmu, mungkin saja saya mengikuti apa kata ibu saya.

Kera di halaman belakang rumah di Rumbai, Riau
Namun sekali lagi – karena kekeraskepalaan saya, walau di mulut saya mah iyah iyah sajah, pada kenyataannya saya mengingkarinya. Lha Allah sendiri tak melarangnya, masak saya mau menjalani apa yang dikatakan ibu saya? Bisa-bisa saya durhaka pada suami karena menzaliminya sekaligus menzalimi diri sendiri. Iya kan? Lalu mengapa saya iyah-iyah saja? Karena ibu saya tak suka dibantah. Sudah sering saya dicap ‘tukang membantah’ karena kekeraskepalaan saya. Sesekali saya perlu mengiyakannya saja walau hanya di mulut.

Masa hamil muda bukanlah masa yang nyaman. Mual setiap hari saya rasakan, begitu juga dengan beragam rasa tidak enak di sekujur tubuh. Namun saya harus memaksa diri untuk tetap bisa sehat. Kalau sampai saya sakit, siapa yang hendak mengurus saya sementara suami saya harus ngantor?

Ipar saya berdiri di depan rumah kami
di Rumbai (G-322), kami tinggal di
sini sewaktu saya hamil Affiq hingga
Affiq berusia 6 bulan.
Meski tak enak makan, tak ada nafsu makan, saya harus memaksa diri untuk makan (saya heran kalau ada orang yang sampai jatuh terkapar sakit karena alasan ‘tidak ada nafsu makan’, padahal masalah nafsu makan kan murni kita sendiri yang mengontrolnya. Kalau betul-betul ingin sehat, mestinya perasaan ‘tak ada nafsu makan’ bisa dilawan sekuat tenaga). Meski tak enak badan untuk melakukan pekerjaan rumah, saya harus bisa melakukannya. Untungnya untuk makan siang dan malam kami bisa rantangan. Tetapi untuk sarapan saya harus mengusahakannya sendiri.

Saat saya hamil besar, ibu saya mulai khawatir karena kami tinggal berdua saja. Tak ada yang menemani, juga tak ada asisten rumahtangga.

“Bagaimana nanti kalau Kamu melahirkan?” tanya ibu melalui telepon (dari Makassar).

“Ya, tidak apa-apa. Nanti cari orang yang bisa bantu,” kata saya.

“Punya bayi itu tidak gampang. Harus ada yang bisa bantu memandikan. Mama dulu dibantu suster dari rumah sakit. Coba tanya di sana. Mungkin susternya bisa bantu memandikan bayi,” kata ibu lagi.

Saya hanya menjawab, “Iya.”

Tapi sejujurnya, saya sama sekali tak ingin menyewa tenaga suster. Saya ingin merasakan sendiri mengurus bayi. Memandikannya, menyusuinya, dan melalui hari-hari saya bersamanya. Ia harus bersama saya seorang, tidak boleh ada suster (ataupun tenaga pengasuh bayi) di antara kami. Di sini saya belajar, di rumah sakit milik perusahaan mengenai cara memandikan bayi melalui program senam hamil.

Salah satu kenang-kenangan dari Rumbai:
kartu perpustakaan :)
Bagi saya, jika sepasang suami istri dikaruniai momongan oleh Allah. Mereka pasti bisa mengasuh dan mendidik momongan mereka tanpa bantuan siapapun. Saya pun sudah bertanya pada seorang kawan yang pernah menjalaninya. Tidak ada masalah, semua baik-baik saja asalkan sepasang suami istri itu bahu-membahu menjalani hari-hari mereka.

Tuh, kerasa kepala kan saya?

Masa sembilan bulan, mendekati sepuluh bulan berlalu. Anak pertama saya – Affiq, lahir dengan selamat setelah menjalani proses induksi pada suatu malam, lepas isya di bulan Juli 2001. Saat ia baru lahir itulah kali pertama saya menggendong bayi baru lahir. Selama ini saya tak pernah berani mencoba menggendong bayi baru lahir. Biasanya saya hanya berani menggendong bayi yang sudah bisa duduk. Ini pengalaman menegangkan bagi saya.

Kenang-kenangan lain: majalah-majalah Warta Caltex
Di rumah sakit, tak boleh ada yang menemani. Aturan rumah sakit perusahaan menyatakan itu. Itu makanya ada perawat yang siap sedia dipanggil kalau-kalau ada yang dibutuhkan pasien. Saya sempat hampir pingsan di kamar mandi saat suami, ibu, ibu mertua, dan adik ipar sudah pulang ke rumah (oya, mereka datang dari Sulawesi menjelang persalinan), untungnya para perawatnya sigap. Mereka segara datang begitu mendengar teriakan saya, segera menaikkan saya ke atas pembaringan, dan membersihkan darah yang berceceran.

Keesokan harinya bidan yang bertugas membantu saya memandikan Affiq. Dua hari di rumah sakit, saya boleh pulang ke rumah. Sejak saat itu saya sendiri yang memandikan Affiq. Kedua ibu tak membantu saya dalam hal ini. Mereka cukup bersenang-senang dengan Affiq saja, menimang-nimang cucu pertama mereka sambil bercanda. Urusan memandikan, membersihkan dari segala kotoran di badannya, dan menyusui merupakan bagian saya, dengan dibantu oleh suami. Urusan mencuci pakaian sudah ada yang menangani: asisten rumahtangga yang mulai bertugas sewaktu Affiq kami bawa pulang dari rumah sakit.

Lama setelah itu baru saya ketahui bahwa tak banyak ibu yang baru melahirkan anak pertama memandikan sendiri bayinya. Beruntung saya punya pengalaman itu. Memandikan bayi baru lahir memang tak mudah. Apalagi bagi saya, menggendong bayi baru lahir saja tak berani saya melakukannya. Sampai sekarang pun saya hanya berani (memberanikan diri tepatnya) menggendong bayi-bayi mungil yang hadir melalui rahim saya.

Ini secuil hal mengenai kemandirian kekeraskepalaan setelah nikah yang bisa saya ceritakan. Masih mau cerita tapi sepertinya sudah terlalu panjang J. Mungkin di lain cerita, di lain waktu. Pesan saya, kemandirian mengasuh apalagi mendidik anak mutlak perlu, jangan terlalu bergantung kepada orangtua. Nikmatnya luar biasa banyaknya. Kalau menjalaninya, pasti akan merasakannya.

Makassar, 19 Februari 2012

Tulisan ini diikutkan pada perhelatan GIVEAWAY :  PRIBADI MANDIRI yang diselenggarakan oleh Imelda Coutrier dan Nicamperenique

Silakan dibaca juga tulisan-tulisan lainnya:




Share :

2 Komentar di "Solitaire dan Sendiri"

  1. Mbak, ceritanya bagus banget tapi rame ya? kesannya jadi nggak fokus, asik semua:)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya ya mbak, rame? Terlalu semangat sih sayanya hehehe ...

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^