Showing posts with label Memantaskan yang Pantas. Show all posts
Showing posts with label Memantaskan yang Pantas. Show all posts
Memandang Hal yang Sama, Harus Ada yang Dipersamakan

Memandang Hal yang Sama, Harus Ada yang Dipersamakan

"Membaca koran jangan asal baca, baca apa yang ada di baliknya," itu pesan Pak Subari Waluyo - guru Fisika saya sewaktu SMP.

Waktu pencapresan kemarin sampai sekarang pun berseliweran segala bentuk pendapat. Saya mengamati saja, beberapa. Saya punya pilihan sendiri tapi saya memilih untuk tidak ikut-ikut nyetatus.

Beda dengan suami saya. Dia punya cara sendiri dalam berpendapat. Saat seorang sahabat mengatakan, "Waah pilihannya (maksudnya: suami saya) kalah, Kak Niar!" Saya mengatakan, pilihan saya dengan suami sama. Kami pendukung capres yang sama.
Baca selengkapnya
Bebas Is … Bablas?

Bebas Is … Bablas?

Kadang-kadang saya merindukan ketenangan zaman orba dulu lho. Masa ketika orang-orang saling hormat. Rakyat biasa menghormati petingginya walau dalam tataran sikap saja di dalam hatinya meleletkan lidahnya.

Ini bukan berarti saya ingin balik ke zaman itu. Bukan. It’s not my point. Roda harus berputar. Zaman harus berganti. Kita tentu tak mungkin stuck di satu waktu. Hanya sekadar ingin bernostalgia, seperti menostalgiakan keadaan zaman sekolah yang kurang tanggung jawab – ketika itu tanggung jawab hanya belajar. Itu kan bukan berarti saya pengen balik ke zaman putih abu-abu. Tidak mungkin kan? Sekarang saya sudah punya 3 anak. Jadi, sekadar bernostalgia boleh, dong.

Orang-orang di zaman kini banyak yang suka kebablasan. Mengkritik sih boleh-boleh saja asal pilihan katanya bagus, alasannya masuk akal. Lha ada orang yang bukan mengkritik, jadinya malah menghujat orang lain yang tadinya tak masuk dalam ranah yang hendak dikritiknya. Atau kalau ada yang tersinggung dengan kritikan orang lain, dia lantas menghujat dengan mengeluarkan kata-kata kasar tanpa dasar.
Baca selengkapnya
Introvert Itu Keren Juga, Lho!

Introvert Itu Keren Juga, Lho!

Saya tahu diri kalau saya introvert. Pernah tes kepribadian, cara Florence Littaeur itu (Personality Plus), introvert adalah salah satu poin kepribadian saya.

Baru-baru ini dapat link tentang mitos seputar orang introvert yang terbantahkan secara elegan. Seperti:

Orang introvert sering berkepribadian negatif, contoh: kerap depresi

Berdasarkan sebuah buku, artikel dalam link itu menuliskan bantahannya atas mitos itu:
Ini anggapan yang berasal dari kaum extrovert.Walau bagaimanapun, lebih banyak orang extrovert di dunia ini, dan merekalah yang ‘menciptakan’ stereotype ini. Orang extrovert yang memasuki area introvert misalnya kesendirian, akan merasa tidak nyaman, sedih, dan sebagainya. Lalu mereka membayangkan bagaimana dengan orang introvert yang sudah berada di area tersebut sepanjang hidup mereka? Bagi orang introvert, kesendirian tidak selalu berarti kesepian.
Baca selengkapnya

Tanyakan Diri, Apa yang Mengganggu

Perasaan tak enak itu mengganggu. Tertahan, tak terdefinisi dengan baik, bisa menyebabkannya terlampiaskan di tempat dan saat yang salah. Walau terkadang terjebak di dalamnya, saya tak suka. Misalnya ketika rasa tak enak itu mewujud dalam bentuk sindroma pra haid. Perubahan hormonal dalam tubuh membuat perasaan tak nyaman muncul. Perasaan tak nyaman menyebabkan letupan emosi. Malah konon ada perempuan yang sampai tega menganiaya suaminya sendiri, baik secara psikis maupun secara fisik.

Konon di Amerika Serikat dan Inggris, kasus amuk istri bertambah dari waktu ke waktu. Di Indonesia pun sering terjadi hanya saja korbannya enggan menceritakan. Perempuan yang tega menyiksa suaminya, biasanya tega pula menyiksa anaknya. Jika diteliti kepribadiannya, si ibu normal-normal saja. Yang bisa ditelusuri adalah penyebabnya, biasanya akibat kondisi rumahtangga atau hubungan kurang serasi antaranggota keluarga. Na'udzu billah, mudah-mudahan tidak tergolong perempuan seperti ini.
Baca selengkapnya

Tak Selamanya Buah Jatuh Dekat dari Pohonnya

Sebuah buku penuntun menuju pernikahan dan menjalani pernikahan yang bahagia membuat sebuah kesalahan. Di dalam buku itu dikatakan bahwa jika memilih calon istri, lihatlah ibunya. Bagaimana sang ibu, baik atau tidak, begitu pula anaknya.

Saya tak mengatakan pendapat ini salah. Bukan. Pendapat ini ada benarnya tapi tak berarti mutlak benar. Ungkapan “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” atau like father like son (like mother like daughter) tak selamanya berlaku.  Telaah sekitar kita baik-baik. Ada ibu yang sangat sabar memiliki anak yang begitu pemarah. Sebaliknya, ibu yang teramat pemarah belum tentu menghasilkan anak sama pemarahnya dengan dirinya.

Cerita-cerita dramatis dalam sinetron bisa saja terjadi di kehidupan nyata. Seorang ibu bisa menjadi “pembantu” anak kesayangannya. Sebaliknya, seorang anak tak berharta bisa menjadi pembantu rumahtangga orangtuanya. Sungguh bukanlah hal yang terbayangkan oleh orang-orang yang memiliki kehidupan normal.

Baca selengkapnya