Beberapa hari yang lalu ibu mertua menempuh perjalanan panjang. Bukan
jaraknya yang panjang, tapi waktu tempuhnya. Jaraknya hanya 150-an kilometer.
Tidak begitu jauh, Pare-Pare – Makassar biasanya bisa ditempuh sekitar 3, 4 ,
atau 5 jam. Tapi hari itu tiba-tiba saja waktu tempuhnya begitu lama: nyaris 12
jam.
Alam seperti marah. Hujan selama berjam-jam menyebabkan banjir di daerah
kabupaten Pangkep dan Maros, menyebabkan kendaraan dari arah utara kota sulit
menembus daerah ini. Adik saya mengatakan, Sorowako – Makassar yang biasanyanya
memakan waktu perjalanan selama hampir 12 jam, ditempuh dalam 24 jam. Pangkep –
Makassar yang bisa ditempuh dalam waktu 2 jam, ada yang menempuhnya selama 10
jam!
Sopir mobil Panther yang ditumpangi ibu mertua meminta para penumpangnya
pindah kendaraan ke bis patas karena ia tak berani melalui ganasnya banjir. “Bisa
lima juta keluar kalau mobil ini sampai rusak dan harus diperbaiki,” ujarnya.
Senada dengan kemarahan alam itu, drainase kota ini juga buruk. Semakin
lama sepertinya makin memburuk. Ditambah banjir yang harus dilalui di belahan utara
kota, ibu mertua tiba di terminal patas, lebih dulu dari suami saya yang hendak
menjemputnya. Ia sudah mulai takut dengan gelagat laki-laki yang berada di
dekatnya. Sudah hampir pukul 9 malam. Perempuan mana saja yang baru tiba dari
bepergian selama itu, pasti takut melihat gelagat aneh dari orang asing di
dekatnya.
Sumber: etsy.com |
Sampai di rumah, ia terlihat sedikit lelah tapi masih terlihat sabar,
seperti biasa. “Kalau naik haji orang, sudah sampai di tanah suci ini,”
selorohnya.
Ibu mertua saya biasa menempuh perjalanan Pare-Pare – Makassar seorang
diri, karena memang tak ada yang bisa menemaninya. Ketiga putranya sudah
berkeluarga, tak ada yang tinggal satu kota dengannya. Jangankan perjalanan
darat 150 kilometer, perjalanan laut ribuan kilometer Papua – Sulawesi saja
sudah berkali-kali ia tempuh, seorang diri. Ia malah tak mau dibelikan tiket
kamar, maunya tiket ekonomi saja. “Lebih enak, banyak teman,” katanya. Padahal
naik kapal laut kelas ekonomi sangat jauh dari nyaman, dibandingkan di kamar.
Boleh dibilang hidupnya penuh dengan perjuangan. Yatim-piatu sejak kecil,
ia harus hidup di panti asuhan hingga gadis belia. Setiap hari membantu
pengelola panti mengurus anak-anak yang lebih kecil darinya. Beberapa orang di keluarganya
memandang remeh dirinya. Akhirnya ia berhasil menjadi guru dan kuliah hingga
jenjang diploma 2 dan menjadi pegawai negeri.
Suaminya meninggal tahun 1994 saat ketiga anaknya masih kuliah. Ia berjuang
sendiri, mengupayakan anak-anaknya bisa selesai meski mereka akhirnya selesai
tak tepat waktu. Tak pernah ia mengeluh atau mengomeli anak-anaknya yang lama kuliahnya.
Seperti pada kesehariannya yang tak suka mengeluh dan mengomel.
Saya menyaksikan sendiri ia membantu saudari ipar merawat anak-anaknya yang
lasak dengan amat sabar. Suatu ketika, saudari ipar ini harus bertugas ke
Yogya, ia mampir di Makassar untuk menitipkan anaknya pada ibu mertua. Begitu
ditelepon, ibu mertua langsung berkemas meninggalkan Pare-Pare menuju Makassar.
Keesokan harinya, suami saya mengantarnya menjemput cucu lelaki berusia setahun
di bandara.
Saya menyaksikan berkali-kali ia mengurus anak-anak dari saudari ipar saya
dengan teramat sabar. Sampai-sampai membuat saya berpikir, “Jika kelak saya
menjadi seorang nenek, apakah Saya akan seperti ini?” karena bagi saya,
pengurusan anak adalah mutlak hak dan kewajiban ibunya, tidaklah patut seseorang
membebani ibu kandungnya dengan pengurusan anak-anaknya (maaf ini pendapat
pribadi saya, setiap orang tentu berbeda sikonnya sehingga berbeda pendapatnya.
Saya tak bermaksud menyerang pendapat tertentu). Mungkin saja kelak saya komplain
sama anak-anak kalau terlalu membebani saya dalam hal pengurusan anak-anak
mereka. Tapi tidak dengan ibu mertua, ia tak pernah melakukan itu (sebagian
kisahnya pernah saya tuliskan di Episode
Heroik Seumur Hidupnya).
Suatu ketika ia jatuh dari ketinggian di atas 3 meter. Ia terjatuh dari
rumah tradisional Bugis di kampung. Bukannya mengaduh berpanjangan, ia malah
mengucap, “Alhamdulillah.” Kisah ini pernah saya tulis di Jatuh
yang “Alhamdulillah” (Refleksi Hati Emas Seorang Perempuan).
Ketika anak-anaknya sedang kekurangan uang, tanpa diminta ibu mertua selalu
saja siap membantu. Ia mengerti sekali keadaan anak-anaknya. Tak pernah ia
mengeluh dan mengomel. Ibu-ibu lain mungkin saja sudah berucap, “Harusnya kan
Kalian yang membahagiakan Ibu? Yang memberikan Ibu uang?” tapi ia tak pernah
mengatakan hal itu. Senyum dan wajah yang teduh selalu nampak darinya.
Saya pernah menyaksikan ia menolong seorang perempuan yang kemalaman.
Perempuan itu “terdampar” di sekitar rumahnya di Pare-Pare. Keterangan
perempuan itu berubah-ubah. Katanya hendak ke kota A. Tak lama kemudian bilang
hendak ke kota B. Tak ada tetangga yang berani menampungnya, takut kalau-kalau
perempuan itu berniat tak baik tetapi ibu mertua saya mau, ia menampungnya
semalam, memberi makan bahkan memberinya uang jalan.
Begitu pun bila bertemu dengan orang-orang yang butuh bantuan di mana saja,
tak segan ia memberikan uangnya meski tak banyak yang dibawanya. Sejak dulu ia
memang gemar membantu orang, bersama suaminya. Banyak orang yang dinikahkan di
rumahnya, walau ia sendiri yang harus keluar biaya. Bahkan ada orang-orang yang
tak ia kenal sebelumnya. Ada pasangan kawin lari, ada pasangan beda agama yang
salah satunya diislamkan terlebih dulu. Ia perempuan yang paling berhati luas
yang pernah saya kenal.
Itulah perempuan heroik yang saya kenal. Ia tegar sejak kecil, sejak bapak
meninggal, sampai sekarang. Kekurangan ataupun kelebihan adalah ujian baginya. Allah-lah
tempatnya bersandar. Dalam malam-malamnya, air mata menemani sujud syahdunya. Hanya
ini kisah yang bisa saya tulis tentangnya di antara banyak kisah heroiknya.
Berharap bisa membahagiakannya.
Makassar, 9 Januari 2013
Tulisan ini diikutkan GA
Ya Allah Beri Aku Kekuatan
Share :
moga banyak ya wanita-wanita yang menjadi tangguh serta lembut seperti ibu aida :)
ReplyDeleteIbu Aida? Iya ya .. semoga ^__^
DeleteSubhanallah...
ReplyDeleteSungguh sosok yang kuat dan bijaksana sekali beliau. Kasih sayangnya begitu luas ya mbak Niar. Bersyukur Allah menggariskan beliau mjd ibu mertua mbak Niar.
Semoga sukses dengan GAnya. :)
Alhamdulillah. Sekarang beliau lagi ada di rumah mbak :)
Deletesemoga sukses GA nya, bun. salut dengan ketegarannya dan juga kebaikannya. :)
ReplyDeleteTerimakasih Ila. Aamiin :)
Deletesalut :)
ReplyDeletebisa ga yah saya sehebat & sekuat itu kalau sudah ditinggal suami dan anak2 heuheu..
Itu juga menjadi tanda tanya besar bagi saya, mbak :)
DeleteMudah2an bisa ya ... harus bisa, tidak ada pilihan lain kalau kondisi seperti itu terjadi pada kita ya
Perjalanannya sungguh super sekali :)
ReplyDeleteSuper :)
Deletemembaca postingan ini seakan-akan mengorek kenanganku tentang almarhum mama-ku, memang tak sama, namun dalam perjuangan yang tak pernah mengeluh..memiliki kemiripan...sungguh sosok mulia yang tak terlupakan,
ReplyDeletebtw-semoga sukses ya dalam kontes GA-nya...salam :)
Mudah2an ibu ta' bahagia di tempatnya yang baru. Aamiin.
DeleteTerimakasih pak :)
Subhanallah... baik sekali beliau :)
ReplyDeleteLeyla Hana
Subhanallah mbak :)
DeleteIbu mertuanya hebat sekali. Alhamdulillah ibu mertua saya juga baik. Kita beruntung mba, punya ibu mertua yang nggak bermasalah sama menantunya. hehehe.. :)
ReplyDeleteSukses GA-nya ya Mba.. :)
Alhamdulillah ... bahagia ya mbak Rini? :)
DeleteTerimakasih, sukses juga buat mbak
Ibu mertua yang super. Bersyukur yah Mak Mugniar menjadi menantu :)
ReplyDeleteHahaha... pas baca dibagian anak saudari ipar yang di titip ke ibu mertua, saya kok keingat kenalan saya yang bilang ke anaknya yang masih smp gini: "Kalau nanti kamu punya anak, jangan repotin Mami. Saat anak2 Mami udah mandiri dan berumah tangga semua, Mami udah rencana mau jalan2 ke luar negeri. Saatnya Mami melihat dunia."
Kalimat itu terlontar saat kenalan tersebut melihat seorang ibu yang lagi "ngasuh" cucunya dan kelihatan repot banget ngadapin cucunya yang aktif sedang tubuh tua ibu tersebut semakin ringkih.
Soal itu, no komen deh hehehe...
Nah tuh dah komen hihihi.
DeleteIya mak, kasian lho liat ibu2 yang sudah sepuh lari ke sana ke mari ngejar2 cucunya yang lasak. Belum kalo cucunya ber ciat-ciat sama neneknya. Trus pup, trus minta ini minta itu, trus nangis, aduh kasihan liat neneknya kerepotan.
Mudah2an anak2 saya kelak baca ini ya hehehe. Kalo sesekali dititipi cucu mah tidak masalah. Asal jangan "dibebani" :D bisa dosa lho anak2 ....
Eh itu pendapat saya ya, sekali lagi bukan untuk menyerang pendapat orang lain.
Berbahagialah ibu2 yang punya ibu seperti mertua saya yang dengan lapang hati mau mengasuh cucunya selama berbulan2, bahkan bisa bertahun2. Neneknya yang ngasuh krn tdk dapat pengasuh atau pembantu atau karena tidak tega anaknya diasuh sama pembantu. Amat besar pahala nenek yang seperti ini.
mbak kan perempuan, perlu ditiru mbak sifatnya...
ReplyDeleteAamiin. Semoga bisa meniru beliau, mas Agus :)
DeleteInsya Allah suatu saat kita juga jadi mertua ya mbak. semoga sukses dengan GAnya ya mbak
ReplyDeleteInsya Allah. Terimakasih mbak Lid :)
Deletesubhanallah masih ada ya insan berhati mulia, nulisnya mbak Niar membuat saya berkaca-kaca pula
ReplyDeleteSaya saja, masih berkaca2 kalo membaca kembali tulisan ini mbak
DeleteBetapa mulianya hati ibu mertua ya Niar. Insya Allah surga untuk beliau. Salam hormat saya :)
ReplyDeleteAamiin. Terimakasih kak :)
DeleteIbu mertuanya hebat mba... saluut. Btw aku juga denger kabar dr temen2ku di sana banjir lumayan parah ya mba, sampe masuk ke rumah gt
ReplyDeleteIya mbak. Parah kota ini. Drainasenya parah. Makin tahun makin parah. Makasih ya mbak Rahmi
Deletesubhanallah..salam hormat saya buat ibu mertuanya mba niar :)
ReplyDeleteMakasih mbak :)
DeleteSELAMAT MBA NIAR SEBAGAI PEMENANG FAVORIT YANG BERHAK MENERIMA PULSA @25ribu, silahkan inbox no telponnya ya :)
ReplyDelete