Memotret Realita dalam Menonton Pertarungan Manusia Tikus

Judul buku: Menonton Pertarungan Manusia Tikus
Penulis: Dwia Aries Tina Pulubuhu
Penerbit: Identitas, Universitas Hasanuddin, Makassar
Ukuran buku: 20,7 cm x 13,9 cm
Jumlah halaman: 134
ISBN: 978-602-8405-48-5
Tahun terbit: 2013

Para sosiolog mengasumsikan bahwa perilaku sosial dikendalikan oleh tiga unsur utama, yaitu: kebutuhan, tekanan, dan rangsangan. Ternyata, situasi pilkada mengandung tiga unsur termaksud. Sehingga pola interaksi sosial masyarakat menjelang pilkada menjadi “pilkada oriented”. (Pilkada; Budaya Bayang-Bayang, halaman 31).

Bahayanya memang kalau reputasi menjadi sorotan utama. Maka isu personal, pribadi, dan reputasi keluarga menjadi lahan enak untuk dikupas habis dan dijual. Tetapi, salah besar jika reputasi lawan yang dikupas habis, karena sama saja menurunkan kadar reputasi diri (Menonton Pertarungan, halaman 65).



Pilkada adalah salah satu topik yang diuraikan dalam buku berjudul Menonton Pertarungan Manusia Tikus. Tidak berbicara teori saja, melainkan dituturkan secara mengalir dan dikaitkan dengan peristiwa sehari-hari yang terjadi di sekitar kita.

Begitu pula 30 tulisan pendek lainnya, terasa dekat dan kental dengan keseharian kita. Padahal penulis mengambil fokus pada berbagai bidang, di antaranya: isu perempuan, kemiskinan, kepemimpinan, politik, dan tentu saja sosiologi – bidang keilmuannya.

Membumi, manusiawi, dan cerdas, itulah kesan yang ditimbulkan oleh buku yang ditulis oleh perempuan yang merupakan aktivis dari berbagai organisasi profesi ini. Buku ini merupakan kumpulan dari tulisan-tulisannya yang pernah dimuat di harian Fajar dalam kurun waktu 2006 – 2009, dan 2011. Terbagi atas 5 bagian besar: Bersetara, Makna, Membaca Realitas, Otokritik, dan Rona Kekuasaan.

Ibu dari tiga orang anak kelahiran Tanjung Karang tahun 1967 ini mampu memainkan kata-kata secara sederhana dalam mentransfer tinjauan kritis – inteleknya dalam setiap tulisan sehingga mudah dicerna oleh orang awam sekali pun. Tak jarang, ia menjelaskan dengan lebih spesifik istilah khas/asing yang digunakannya. Beberapa sentilan dicetuskannya dengan menggelitik, misalnya: Kalau saja ada “indeks kesengsaraan”, untuk saat ini buruh tani merupakan jumlah terbesar yang menyumbang angka indeks kesengsaraan (Terjebak, halaman 81).

Ada lagi yang menggelitik dari tulisan berjudul Manila, Jakarta, dan Makassar yang dimuat di harian Fajar pada tanggal 7 Februari 2008. Penulis melukiskan keadaan Manila dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya. Secara fisik nyaris tak berubah hanya saja dalam berkendara lebih nyaman karena kemacetan berkurang. Ini karena pembangunan public services seperti jalur monorail amat gencar di sana. Penulis kemudian membandingkan dengan Jakarta yang ketika itu makin macet karena kurangnya perhatian pemerintah pada pembangunan public services.

Penulis  yang juga menjabat Ketua Forum Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerjasama, Perguruan Tinggi Negeri Seindonesia periode 2012 – 2014 ini menyerukan pembatasan pembangunan ruko, mal, dan pembangunan fisik lainnya yang semarak di saat itu. Dan, sudah bisa ditebak, yang sekarang terjadi adalah apa yang dituliskannya di paragraf terakhir: Jangan buat orang dari luar SulSel tercengang jika mendatangi Makassar dan kota lainnya di SulSel karena kota-kota ini telah menjadi kota ruko, jalanan macet, dan banjir jika hujan. Dan, mereka akan bilang Makassar kok mulai sama dengan Jakarta! (halaman 18).

Isu kemiskinan dan penghijaun yang dekat dengan perempuan pun diangkat oleh penulis. Ada warna-warni kemiskinan, karakter kemiskinan yang “feminin”, hingga data yang menyebutkan bahwa 60 – 70 persen orang miskin di dunia adalah perempuan sementara faktor utama penyebabnya adalah pelaksanaan hak yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sayangnya penulis tidak menyebutkan jumlah penduduk dunia saat itu dan perbandingan antara jumlah laki-laki dan perempuan untuk menguatkan pemaparannya. Karena berbeda “rasa” dari sebuah tulisan yang dituliskan oleh perempuan dan laki-laki bila menyangkut isu perempuan. Bisa terkesan bias atau memihak. Validitas argumen tentang faktor utama itu akan lebih kuat jika didukung data yang akurat.

Tak banyak kekurangan buku ini, hanya sedikit kesalahan ketik dan sedikit kekurangrapian pada susunan kalimat dan paragrafnya. Berbagai realita dipaparkan penulis dengan lugas. Perenungannya yang mendalam diungkapkannya dengan elegan melalui penuturan berbagai realita yangmana satu di antaranya bagaikan lingkaran setan (mengenai berbagai kendala dalam mewujudkan pelayanan publik yang akuntabel dan transparan). Bahkan bagaimana ia menyikapi momen tahun baru, kemenangan dan kekalahan, hari kemerdekaan, sampah, dan ulangtahun UNHAS pun dipaparkannya dengan tegas.

Menyimak lembar demi lembar buku ini menerbitkan kesyukuran atas terpilihnya penulis sebagai rektor UNHAS periode 2014 - 2018. Juga mendatangkan harapan baru, semoga di bawah kepemimpinannya, UNHAS semakin berjaya. Sebab tulisan-tulisan dalam buku ini berasal dari masa-masa sebelum karirnya terlihat benderang, akan menjadi pemimpin di universitas terbesar di Indonesia Timur. Berasal dari masa lalu, seyogianyalah isi buku ini merupakan refleksi dari karakter seorang Dwia Aries Tina Pulubuhu.

Makassar, 22 Mei 2014

Tulisan ini diikutkan Indiva Reading Challenge


Share :

0 Response to "Memotret Realita dalam Menonton Pertarungan Manusia Tikus"

Post a Comment

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^