Kisah Caleg Idealis VS "Budaya Amplop"

Saya mendengar kisah yang dipaparkan seorang kawan, sebut saja namanya Innah dengan perasaan bahagia sekaligus miris. Ia menuturkan kisah tentang caleg idealis yang justru tak dianggap oleh banyak orang. Karena sebagian besar warga di daerahnya lebih memilih “caleg amplop”. Memberi uang masih melunturkan idealisme warga.

Sang caleg punya daerah binaan selama 5 tahun tapi justru kurang mendapat dukungan dari masyarakat. Premanisme mengancam melalui bagi-bagu uang. Bahkan ada preman yang terpilih sebagai anggota DPRD pada periode lalu karena mengancam warga.

Sang caleg yang terpilih periode lalu sudah menjalankan banyak program untuk masyarakat. Untuk periode ini ia menjadi caleg lagi tetapi dukungan yang datang kepadanya kurang.

Sumber: wikipedia.org

Program yang dilakukannya, antara lain:
  • Pelayanan kesehatan dengan penyediaan ambulans gratis untuk orang sakit dan jenazah.
  • Penyuluhan pertanian dengan membantu membuat proposal untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah (karena mereka tidak tahu jalur untuk mendapatkan).
  • Menghidupkan masjid dengan membina majelis taklim dan mendirikan TPA.
  • Membantu pembangunan masjid
  • Mengusahakan pengadaan air bersih
  • Membantu penanggulan bencana
  • Memfasilitasi pemuda untuk sarana olahraga
  • Membuat bimbingan belajar untuk anak SMA persiapan SMPTN

Kesemua itu dilakukan sejak sang caleg dilantik jadi anggota DPRD 5 tahun lalu. Namun saat pencalonan baru-baru ini ternyata masyarakat banyak yang memilih menjual suaranya dengan uang. Dan mereka menyampaikannya secara terang-terangan.

Mendengar penuturan Innah, saya menanyakan di DAPIL mana wilayah sang caleg ini, rasanya saya mulai tergerak memberikan suara kepadanya. Innah menyebutkan nama sebuah kabupaten di provinsi ini. Waduh, ndak jodoh dong dengan suara saya.

Antara bahagia dan miris. Bahagia karena ternyata masih ada caleg yang peduli dengan hal-hal seperti ini. Menunjukkan langkah-langkah nyata yang bisa ia lakukan untuk warga.

Miris karena ternyata memang uang seperti menjadi budaya sebagian pemilih. Hidup zaman sekarang begitu susah rupanya sehingga nasib mereka lima tahun ke depan rela ditukar dengan rupiah yang bisa habis dalam sekejap.

Mudah-mudahan sang caleg ini tetap semangat. Kalaupun ada bagian masyarakat yang tak memilihnya, mudah-mudahan Allah memilihnya untuk menjadi penghuni surga-Nya kelak karena sudah benar-benar berusaha menyejahterakan masyarakat. Barakallah.

Makassar, 8 April 2014



Sudah pada memilih, kan?


Share :

15 Komentar di "Kisah Caleg Idealis VS "Budaya Amplop""

  1. Iya, ya kalau suruh hilang seratus 100 % budaya amplopan bisa nggak ya..?

    ReplyDelete
  2. masih aja ada yang menggunakan cara seperti ini ya mbak

    ReplyDelete
  3. Masyarakan adalah korban dari para calrg yg punya banyak uang (?) bukankah yg memberi amplop adalah caleg ? mereka hanya berpikir realistis dengan kondisi mereka.
    susah memang caleg yg memiliki visi dan misi yg baik trus ia tidak memiliki basis ideologis di masyarakat. artinya ia belum melakukan kaderisasi politik terhadap basis massanya.

    "_"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mestinya massanya dikader dulu visi politiknya ya?

      Delete
  4. dikasih 10rb saya coblos,ada yang kasih 20rb coblos yang 2orb dan seterusnya..inilah prilaku para caleg, karena kita sebagai pemilih sudah bosan dan muak akan janji-janji meraka saat kampanye..jadi sudah sewajarnya kita palakin itu caleg
    sumber- ibu-ibu rumah tangga

    ReplyDelete
  5. Sudah lama memang isu budaya Amplop ini. Di beberapa daerah di Kalimantan Barat budaya amplop seperti sudah menjadi musuh bersama. Kita harus sama sama sadar bahwa ini tidak baik bagi demokrasi dan pelaksanaan Pemilu harus bebas dari politik uang dengan dalih apa pun

    ReplyDelete
  6. Amplop sekarang masih mampu membeli suara, Bun. entah, sadar atau tidak, mereka sudah melakukan tindakan yang justeru bisa merugikan mereka sendiri. bisa kebayang kalau oknumcaleg sudah menebar uangnya, pasti dikemudian hari ia akan berusaha mengembalikan modalnya itu. bukan buruk sangka, tapi realistis saja. miris sekali, Bun.

    ReplyDelete
  7. Saya juga miris karena nasib mereka lima tahun ke depan rela ditukar dengan rupiah yang bisa habis dalam sekejap. :((

    ReplyDelete
  8. anggaplah itu satu ujian bagi sang caleg incumbent,,,karena masyarakat sebagian beranggapan,,caleg incumbent banyak uangnya...jadi ya itu tadi mereka mengharap budaya amplop mampir juga ke kantong mereka....., semoga saja indonesia berhasil menemukan caleg2 yg amanah dan jujur serta anti korupsi....
    keep happy blogging always,,,,salam :-)

    ReplyDelete
  9. Kisah dan cerita ini pernah sudah pernah terjadi di lima tahun silam Mba, bahkan setelah si caleg ternyata tidak lolos, maka yang terjadi semua barang sisa bangunannya di ambil dan di tarik balik dari lokasi tersebut.

    Makanya Alloh juga tahu ko niat yang sebenarnya orang itu. Akibatnya orang itu gila. he,, he,, he,,, :D

    Salam,

    ReplyDelete
  10. Budaya Amplop,,,sudah berkembang di wilayah saya sejak pemilu periode sebelumnya,,,kadang nggak pake amplop,,jadi langsung tahu isinya lembaran dengan warna merah atau biru,,,hehehe

    ReplyDelete
  11. karena kemiskinan lah menjadi pemicunya mbak~
    terkadang rakyat sama sekali tak mengerti apa hubungan dprd dengan kehidupan mereka sevara langsung. Berbeda dengan lurah atau presiden. jadi susah sekali untuk mengubah pola pikir itu... miris tapi itulah kenyataan di sekitar saya. T.T

    ReplyDelete
  12. sebenarnya caleg yg bagi2 amplop itu sudah jelas banget bagaimana karakternya ketika kelak menjabat.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^